Jumat, 24 Juni 2011

Digital Technology for Local Knowledge Conservation LIVEIN MERAPI


Pada kali ini “MNATH” akan mencoba menjabarkan sesuatu yang sudah didapat dari kegiatan livein di wilayah Sumber, Lereng Merapi. Membahas tentang “Digital Technology for Local Knowledge Conservation, case study: Javanese Vernacular. Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 18-19 juni 2011. Kegiatan ini bertujuan mengenal Javanese Vernacular di wilayah tersebut, diharapkan teman-teman bisa merasakan secara langsung bagaimana kehidupan yang sejalan dan saling berkesinambungan antar masyarakat.
Kami berkumpul dan berangkat bersama-sama dari kampus Unika Soegijapranata Semarang. Kami berangkat jam 07.30 wib dan sampai jam 10.30 wib. Sesampainya di sana kami berkumpul di tanah lapang dan kami disambut dengat sangat hangat oleh para wakil penduduk di sana. 

Kami di bagi menjadi 4 team dan menempati 4 desa yang berbeda. Team saya menempati desa Bojong. Setelah sampai di desa tersebut saya dan teman-teman bertempat tinggal di rumah warga. Saya bertempat tinggal di rumah bapak Dasril. Rumah tersebut benar-benar traditional belum ada sentuhan modern. Rumah tersebut masih menggunakan struktur kayu. Dan masyarakat sekitar menggunakan kayu nangka untuk struktur utama (SOKO GURU). Rumah tersebut masih mengunakan dinding gedek dan atap menggunakan genteng bata merah tanpa plafond. Sekitar jam 12.00 wib saya makan siang di rumah bapak Dasril. Dan tanpa diduga-duga makanannya lebih enak dari pada saat saya kos setiap harinya....(hahahahahahaha).
Siang harinya kami mulai berkeliling desa sambil bertanya-tanya tentang kehidupan mereka. Kami juga bertanya ke pada salah-satu arsitek desa tersebut yaitu bapak Muji. Beliau merupakan arsitek traditional yang masih menjunjung nilai mistis atau ke-traditionalan dari desa tersebut. Beliau sudah sangat mahir dalam pembuatan rumah di desa tersebut. Setelah kami bertanya-tanya dengan beliau ternyata banyak sekali tata-cara pembuatan rumah. Dari pemasangan batu pertama yang harus menghitung hari dan juga ada beberapa ritual khusus sampai dengan pemasangan penutup atap.

 Pak Muji "ARSITEK TRADITIONAL"
Saat pembangunan rumah tersebut harus disamakan dengan hari baik dan juga hari kelahiran dari sang punya rumah. Selain itu para pekerja pembuatan rumah tersebut juag tetangga sekitar yang saling gotong royong membangun rumah tersebut tanpa bayaran seperpun (minimal makan dan minum). Inti dari rumah traditional tersebut adalah SOKO GURU. Dan tahap-tahap pembuatan soko guru harus dilakukan oleh satu orang dan juga harus melakukan serangkaian ritual-ritual (contoh: topo bisu / puasa bicara; maksudnya agar lebih berkonsentrasi, dll). Dan soko guru terdiri dari berbagai macam nama,( tidak bisa disebutkan satu-satu...hehehehehe). dan untuk mengurangi atau menambah ketinggian dari SOKO GURU tersebut, hanya boleh oleh orang yang membuatnya.

Setelah kami menerima ilmu yang banyak dari bapak Muji, kami langsung berjalan-jalan menuju desa GEMER. Kami menuju kesana karena kami ingin melihat gereja yang berada di desa tersebut. Sebelum lupa, keberagaman umat didesa ini sangat tidak mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka masih saling hidup rukun dan saling menghargai, dan itu yang harusnya dicontoh oleh masyarakat kota.

Setelah melihat dan menikmati gereja tersebut kami berjaln pulang. Dan dalam perjalanan saya bertemu dengan ibu yang sedang melilat gabah dan padi (ibunya senyum-senyum...hehehehehehe). dan belum lama saya melangkah saya melihat ada ibu yang sedang mencabuti rumput liar di sawah. Dan ibu itu menyapa saya dan teman saya.......eeeehhmmmmmm...desa yang sungguh ramah.


*dilanjut kehalaman berikutnya.......
http://mnath2011.blogspot.com/2011/06/lanjutan_24.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar